Silat merupakan salah satu seni bela diri asli nusantara. Sebuah seni bela diri yang lahir dan berkembang di bumi pertiwi ini, keberadaannya kini semakin dilirik oleh bangsa-bangsa lain, tidak terkecuali bangsa Eropa.
Mungkin malah banyak di antara kita di tanah air yang masih skeptis mengenai kiprah Silat sebagai sebuah seni bela diri.Atau mungkin banyak pula dari kita yang memandang bahwa silat adalah seni panggung yang tidak berbeda jauh dengan tari-tarian daerah. Sebuah tari-tarian yang dibumbui dengan gerakan pukulan dan tendangan sambil diiringi musik tradisional kendang dan gamelan.
Namun pada kenyataanya pandangan miring di atas tentang silat adalah kurang tepat.
Silat memang dapat dimainkan sebagai sebuah seni panggung dengan iringan musik tradisional, namun dengan sebuah pendekatan tertentu, silat dapat menjadi sebuah senjata yang sangat mematikan. Hanya di tangan orang-orang terlatih, silat dapat menjadi sebuah seni bela diri yang bersifat praktis dan menjadi pilihan bagi sebuah pasukan khusus anti-teror, sebagaimana silat yang digunakan oleh Polisi Khusus negeri Perancis, GIGN.
GIGN, singkatan dari Groupe d’intervention de la Gendarmerie nationale, atau National Gendermerie Intervention Group dalam bahasa Inggrisnya, adalah sebuah Unit Khusus Taktis dari Polisi Nasional Perancis. Kesatuan Polisi Khusus ini memiliki tugas dalam penanganan anti-teror, penyelamatan sandera, pengamanan VVIP dan penanggulangan terhadap kejahatan terorganisasi. GIGN telah memasukkan silat sebagai sebuah ilmu bela diri utama yang wajib dikuasai oleh para anggotanya, di samping ilmu bela diri Krav Maga.
Pengaruh Silat pada Polisi Eropa
Adalah Frank Ropers, seorang pelatih silat terkenal dari Perancis sebagai salah seorang pelatih yang telah mencapai tingkat pendekar atau Grand Master Silat. Ia dikenal di daratan Eropa sebagai seorang pelatih silat bertangan dingin. Kerasnya latihan yang ia terapkan kepada muridnya, telah membuat ia dipercaya melatih para anggota pasukan elit polisi Perancis.
Frank Ropers ini rupanya adalah salah seorang ahli bela diri dari hasil penggemblengan di sebuah perguruan silat yang didirikan oleh seorang bule bernama Charles Joussot. Dan, yang menariknya adalah, Charles Joussot ini merupakan seorang murid dari seorang guru besar silat berkebangsaan Indonesia bernama Hardjono Turpijn.
Pak Hardjono ini adalah seorang pendekar silat yang berasal dari aliran silat Setia Hati Terate (SHT). Pak Hardjono adalah seorang pria kelahiran Jogja tahun 1929 yang mengembangkan dan mengajarkan ilmu silat kepada para murid-muridnya di wilayah Eropa.
Setelah ia hijrah ke daratan Eropa pada pertengahan tahun 60-an dari Indonesia, ia menetap di negeri kincir angin Belanda. Di benua yang orang-orangnya berpostur tinggi besar ini, dengan kemantapan hati, Pak Hardjono mendirikan sebuah padepokan silat yang ia beri nama Setia Hati Terate Madiun. Kata Madiun ia tambahkan di belakang perguruan silatnya sebagai sebuah penghargaan terhadap tempat di mana ia pernah menimba ilmu bela diri nenek moyang bangsa Indonesia itu.
Sebagaimana diketahui, Madiun menjadi pusat perguruan silat Setia Hati Terate, di mana pada masa Pak Hardjono belajar silat. Saat usia belia, ia digembleng keras oleh guru silatnya yang bernama Kiai Ngabehi Soerodiwirdjo, atau Mbah Suro.
Bpk. Hardjono Turpijn |
Ketika Pak Hardjono mengajarkan silat kepada orang-orang Eropa, rupanya ilmu bela diri Silat yang mengusung unsur keindahan gerak yang diramu dengan pukulan dan tendangan serta teknik kuncian dan penggunaan berbagai senjata tajam, masih menjadi hambatan bagi orang-orang Eropa untuk mempelajarinya. Tubuh jangkung nan besar yang merupakan karakteristik orang-orang Barat, menjadi salah satu penyebab sulitnya gerakan silat yang membutuhkan kelenturan dan kelincahan itu diterapkan terhadap mereka.
Syukurlah, berbagai kendala yang dihadapi orang bule tersebut berhasil dibaca oleh Pak Hardjono yang kemudian dengan kreasi dan inovasinya, ia menyederhanakan gerakan-gerakan silat namun tanpa melupakan aspek power-nya. Gerakan-gerakan yang dinilai hanya cocok untuk atraksi panggung ia hilangkan. Jurus-jurus yang dianggap sulit dilakukan oleh orang berpostur besar ia buat simpel. Namun di sisi lain, ia lebih fokuskan pada gerakan menyerang, bertahan dan teknik kuncian.
Fokus gerakan dan jurus serangan yang Pak Hardjono kembangkan, lebih kepada target-target yang dinilai vital dan mematikan, seperti kepala, ulu hati, dan kemaluan. Selain itu, gerakan-gerakan yang ia pertahankan ini menjadikan silat a la Eropa tersebut lebih mudah diikuti oleh orang bule. Silat aliran buah karya Pak Hardjono ini menjadi lebih implementatif dan praktis untuk bertahan pada sebuah pertarungan di jalanan, di samping unsur olah raga dan filosofi timurnya yang kuat.
Atas inisitatif Pak Hardjono dalam mengembangkan gerakan silat inilah, banyak orang Eropa yang pada akhirnya berbondong-bondong untuk mempelajari dan berlatih ilmu silat, salah satunya adalah Charles Joussot.
Charles Joussot adalah pendiri sebuah perkumpulan seni bela diri internasional yang berbasis di Perancis bernama FISFO, atau Federal International System Forces de L’ordre
Charles Joussot |
Perkenalan Charles Joussot dengan Pak Hardjono Turpijn terjadi ketika di tahun 1978, Joussot membaca sebuah artikel tentang Silat di sebuah majalah Karate. Keingintahuan Joussot berlanjut dengan pertemuan dan latihan silat dari sang Guru Indonesia. Saat itu Joussot tengah mendalami ilmu bela diri Savate dan tinju khas Inggris.
Setelah belajar silat selama sekitar 6 tahun, Charles Joussot membuka perguruan silat pertamanya di Rue Dunkerque yang kemudian perguruannya tersebut ia pindahkan ke Paris pada 1987 untuk mendapatkan tempat yang lebih luas. Joussot pindah ke Amerika di tahun 1998 untuk meneruskan tugas Pak Hardjono melatih silat setelah wafatnya sang guru yang ia kagumi pada 1996.
Atas keahlian dan pengalamannya dalam seni bela diri Pencak Silat, selain menjadi pendiri dan guru besar pada Padepokan Silat FISFO, Charles Joussot juga dipercaya sebagai seorang Penasihat, konsultan, dan pencipta peralatan keamanan bagi polisi Perancis.
Charles Joussot sangat mengagumi Pak Hardjono Turpijn sebagai guru silatnya. Joussot sangat terinspirasi oleh bagaimana sang gurunya itu hidup di hutan-hutan di pulau Jawa untuk berjuang menjadi kelompok partisan Pasukan Siliwangi. Untuk dapat mengalahkan musuhnya, yang merupakan gerombolan pemberontak, gurunya itu mesti hidup bertahun-tahun membantu pasukan komando tentara Indonesia kala itu.
Untuk dapat bertahan dan bertempur di hutan, Gurunya itu harus memiliki sistem pertahanan diri yang efektif, praktis namun mematikan. Pertempuran di hutan-hutan telah menginspirasi sang guru dalam mengembangkan keahliannya di bidang ilmu bela diri Silat. Keahlian sang Gurunya dalam mengamalkan ilmu bela diri di hutan-hutan itu, diadopsi oleh Joussot ke dalam sistem bela dirinya yang ia namakan sebagai Art de la Jungle – Penchak Silat.
Untuk menerapkan ilmu bela diri yang ia kembangkan dari gurunya tersebut, Joussot selalu berpegang pada falsafah Pertahanan Diri yang Simple, Cepat dan Efisien.
Disebutkan pula bahwa Pak Hardjono memiliki dua orang guru yang sangat mempengaruhi ilmu silatnya, salah satunya yang telah disebutkan di atas, yaitu Mbah Roso, dan satu lagi adalah Bapak Tjokro Djamaed.
Di samping memperdalam aliran SHT, rupanya Pak Hardjono juga menjadi murid dari beberapa aliran silat besar di Indonesia. Bukan hanya berbagai gerakan dan jurus-jurus dari berbagai aliran silat yang ia pelajari, namun juga Pa Hardjono ini sampai mempelajari ilmu bela diri tenaga dalam.
Bagaimana Silat digemari masyarakat Barat
Berbeda dengan mainstream ground fighting martial arts dunia lainnya, seperti Karate, Wushu, Tae Kwon Do dan lain sebagainya, silat lahir dari sebuah kondisi peperangan. Sementara cabang seni bela diri lain diciptakan dari sebuah yang kuil tempat para bikshu belajar agama, namun bela diri silat diciptakan atas sebuah kebutuhan untuk memenangkan peperangan. Silat adalah senjata rahasia para senopati atau panglima perang dari kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara pada era abad ke-7 masehi.
Untuk dapat menjadi sebuah kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di wilayah nusantara, Sriwijaya dan kemudian Majapahit, perlu membekali bala tentaranya, terutama para panglimanya, dengan ilmu bela diri yang simple, efisien namun mematikan. Maka dari itulah, ilmu silat berkembang secara terbatas di kalangan tentara level atas kerajaan Majapahit. Di kala belum dikenalnya senjata api, tentara hanya bersenjatakan pedang, keris, parang, tombak dan bahkan tangan kosong, bela diri silat lahir sebagai sebuah senjata alternatif yang bersifat letal atau mematikan.
Karena sifatnya yang rahasia, ilmu bela diri silat hanya diajarkan di kalangan tertentu, yaitu kalangan panglima, senopati dan beberapa dari keluarga kerajaan saja. Oleh karena itu, silat tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas di era tersebut. Silat hanya diajarkan secara turun-temurun secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada catatan atau arsip tertulis yang dapat dijadikan referensi oleh masyarakat umum yang berminat mempelajarinya.
Kerahasiaan ilmu silat itulah yang sangat terkait dengan sifat-sifat dan moral masyarakat pada masa itu. Sifat kesatria yang rendah hati namun kaya ilmu, selalu diajarkan dan ditanamkan kepada para pendekar sebagai sebuah etika kepemimpinan pada jaman kerajaan lampau di bumi nusantara. Sehingga saat ini kita mengenal sebuah peribahasa yang berbunyi ‘padi semakin berisi semakin merunduk’.
Silat adalah sebuah seni bela diri yang paripurna, bukan saja mengajarkan gerakan pukulan dan tendangan, silat juga menonjolkan teknik kuncian, bantingan, penggunaan berbagai senjata tajam, tongkat, senjata rahasia dan satu lagi yang tidak kalah penting, yaitu teknik pernapasan.
Selain itu ada teknik-teknik dan senjata rahasia yang diajarkan oleh silat, salah satu senjata rahasia para pendekar silat yang belakangan ini cukup mendunia adalah senjata Karambit. Karambit adalah sebuah senjata tajam berukuran kecil berbentuk seperti kuku macan yang karena ukurannya dapat disembunyikan di balik baju.
Karambit merupakan senjata yang hanya digunakan sebagai senjata terakhir jika seorang berada pada posisi terpojok. Karambit merupakan senjata tajam yang bersifat sangat mematikan, karena ditujukan pada sasaran vital di tubuh manusia, seperti urat nadi di leher, pergelangan tangan dan bahkan pembuluh darah utama di bagian kaki. Membuat musuh yang terkena senjata ini langsung lumpuh dan mati akibat kehabisan darah.
Di beberapa cabang bela diri silat, seperti silat Bangau Putih dan Merpati Putih, diajarkan pula teknik deteksi gerakan dengan indra perasa, sehingga dengan mata tertutup, seorang pesilat dapat mendeteksi gerakan lawan dan menghindar dari pukulan maupun tendangan serta melakukan serangan terhadap lawan dengan mata masih tertutup. Sungguh merupakan sebuah teknik yang sangat sulit dipelajari dan hampir tidak ada cabang seni bela diri yang mengajarkannya kecuali hanya sedikit saja.
Di samping memperdalam aliran SHT, rupanya Pak Hardjono juga menjadi murid dari beberapa aliran silat besar di Indonesia. Bukan hanya berbagai gerakan dan jurus-jurus dari berbagai aliran silat yang ia pelajari, namun juga Pa Hardjono ini sampai mempelajari ilmu bela diri tenaga dalam.
Bagaimana Silat digemari masyarakat Barat
Berbeda dengan mainstream ground fighting martial arts dunia lainnya, seperti Karate, Wushu, Tae Kwon Do dan lain sebagainya, silat lahir dari sebuah kondisi peperangan. Sementara cabang seni bela diri lain diciptakan dari sebuah yang kuil tempat para bikshu belajar agama, namun bela diri silat diciptakan atas sebuah kebutuhan untuk memenangkan peperangan. Silat adalah senjata rahasia para senopati atau panglima perang dari kerajaan-kerajaan di wilayah nusantara pada era abad ke-7 masehi.
Untuk dapat menjadi sebuah kerajaan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di wilayah nusantara, Sriwijaya dan kemudian Majapahit, perlu membekali bala tentaranya, terutama para panglimanya, dengan ilmu bela diri yang simple, efisien namun mematikan. Maka dari itulah, ilmu silat berkembang secara terbatas di kalangan tentara level atas kerajaan Majapahit. Di kala belum dikenalnya senjata api, tentara hanya bersenjatakan pedang, keris, parang, tombak dan bahkan tangan kosong, bela diri silat lahir sebagai sebuah senjata alternatif yang bersifat letal atau mematikan.
Karena sifatnya yang rahasia, ilmu bela diri silat hanya diajarkan di kalangan tertentu, yaitu kalangan panglima, senopati dan beberapa dari keluarga kerajaan saja. Oleh karena itu, silat tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas di era tersebut. Silat hanya diajarkan secara turun-temurun secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak ada catatan atau arsip tertulis yang dapat dijadikan referensi oleh masyarakat umum yang berminat mempelajarinya.
Kerahasiaan ilmu silat itulah yang sangat terkait dengan sifat-sifat dan moral masyarakat pada masa itu. Sifat kesatria yang rendah hati namun kaya ilmu, selalu diajarkan dan ditanamkan kepada para pendekar sebagai sebuah etika kepemimpinan pada jaman kerajaan lampau di bumi nusantara. Sehingga saat ini kita mengenal sebuah peribahasa yang berbunyi ‘padi semakin berisi semakin merunduk’.
Silat adalah sebuah seni bela diri yang paripurna, bukan saja mengajarkan gerakan pukulan dan tendangan, silat juga menonjolkan teknik kuncian, bantingan, penggunaan berbagai senjata tajam, tongkat, senjata rahasia dan satu lagi yang tidak kalah penting, yaitu teknik pernapasan.
Selain itu ada teknik-teknik dan senjata rahasia yang diajarkan oleh silat, salah satu senjata rahasia para pendekar silat yang belakangan ini cukup mendunia adalah senjata Karambit. Karambit adalah sebuah senjata tajam berukuran kecil berbentuk seperti kuku macan yang karena ukurannya dapat disembunyikan di balik baju.
Karambit merupakan senjata yang hanya digunakan sebagai senjata terakhir jika seorang berada pada posisi terpojok. Karambit merupakan senjata tajam yang bersifat sangat mematikan, karena ditujukan pada sasaran vital di tubuh manusia, seperti urat nadi di leher, pergelangan tangan dan bahkan pembuluh darah utama di bagian kaki. Membuat musuh yang terkena senjata ini langsung lumpuh dan mati akibat kehabisan darah.
Di beberapa cabang bela diri silat, seperti silat Bangau Putih dan Merpati Putih, diajarkan pula teknik deteksi gerakan dengan indra perasa, sehingga dengan mata tertutup, seorang pesilat dapat mendeteksi gerakan lawan dan menghindar dari pukulan maupun tendangan serta melakukan serangan terhadap lawan dengan mata masih tertutup. Sungguh merupakan sebuah teknik yang sangat sulit dipelajari dan hampir tidak ada cabang seni bela diri yang mengajarkannya kecuali hanya sedikit saja.
sumber : www.fisfo.com; www.kompasiana.com;yohatma.blogspot.co.id
0 komentar:
Post a Comment
Silahkan memberikan komentar. Terima kasih.